Menikmati Pesona Semesta di Embung Batara Sriten
Pagi dini hari di 20 Mei 2015, pukul 2:06 sebuah notifikasi pesan WhatsApp sontak mengalihkan perhatian saya dari layar monitor laptop yang sudah saya pandangi berjam-jam lamanya.
“Noot not, udah bangun?”
Ya, melalui pesan singkat itu saya langsung menyadari akan rencana kami menikmati sunrise dari puncak teringgi di Wonosari kabupaten Gunung Kidul. Saya lekas menyiapkan diri, tak lupa kamera DSLR "hadiah" dari kontes SEO Mercedes-Benz beberapa tahun lalu yang ternyata belum di-recharge sejak terakhir saya pakai awal tahun ini di Toraja.
Sebuah rencana dengan sedikit “wacana” namun cukup persiapan. Diantara kami bertiga, belum ada satupun yang tahu arah dan kondisi jalan menuju lokasi. Bermodal koordinat dan aplikasi Waze di smartphone, saya, Fidi dan Yosi berangkat menuju lokasi saat masih pukul tiga pagi.
Amazing, di gelap malam, jalan sempit berbatu, terjal dan tikungan tajam seolah memaksa kami harus "menikmati" wisata ekstrim di sekitar 5 KM akhir perjalanan mengejar sunrise. Baiknya pengelola, kami selalu diingatkan untuk menggunakan transmisi satu melalui papan penanda yang menyambut di setiap menjelang tanjakan curam. Tak lain agar kami tetap hati-hati dan bisa tiba dengan selamat di lokasi.
Masih pagi, pukul 4:30. Pantulan sinar matahari mulai menyapa di ujung cakrawala. Laju mobil harus kami hentikan. Portal pos retribusi masih tutup, petugas pintu masuk masih menikmati tidurnya, sementara kami sudah tidak sabar akan pesona yang akan dipamerkan semesta di atas sana (baca: Embung Sriten).
Tak lama menunggu, akhirnya dua pemuda menghampiri pos retribusi. Mereka sigap, lekas membuka portal. Sepertinya mereka paham tujuan utama kami “mengganggu” nyenyaknya tidur mereka pagi itu. Tak rela jika kami kelewatan momen yang kami harapkan.
Total yang kami bayar Rp 20.000, jika dirinci masing-masing orang membayar Rp. 5.000 dan biaya parkir untuk 1 mobil dengan tarif yang sama.
Kami kembali melanjutkan perjalanan yang kurang lebih masih 1 kilometer. Setibanya kami di lokasi, teriakan “WOW!” spontan keluar dengan polosnya dari mulut saya. Hal yang tidak bisa saya bendung saat pesona semesta itu benar nyata adanya.
Ingin rasanya lebih dekat untuk menyambut dan mengucapkan “Selamat pagi mentari”. Kami pun mendekatinya di puncak Magir, bukit di sebelah embung. Dari sini kami bisa menikmati keharmonisan dengan semesta saat jauh dari polusi udara, kebisingan dan langkanya mendengar "irama" alam yang dinyanyikan burung-burung di pagi ini.
***
Sebuah keberuntungan, kami bisa menikmati indahnya Embung Batara Sriten, sunrise, pesona cakrawala dan indahnya Merapi Merbabu saat berada di “atas” awan.
Terima kasih semesta.
“Noot not, udah bangun?”
Ya, melalui pesan singkat itu saya langsung menyadari akan rencana kami menikmati sunrise dari puncak teringgi di Wonosari kabupaten Gunung Kidul. Saya lekas menyiapkan diri, tak lupa kamera DSLR "hadiah" dari kontes SEO Mercedes-Benz beberapa tahun lalu yang ternyata belum di-recharge sejak terakhir saya pakai awal tahun ini di Toraja.
Sebuah rencana dengan sedikit “wacana” namun cukup persiapan. Diantara kami bertiga, belum ada satupun yang tahu arah dan kondisi jalan menuju lokasi. Bermodal koordinat dan aplikasi Waze di smartphone, saya, Fidi dan Yosi berangkat menuju lokasi saat masih pukul tiga pagi.
Amazing, di gelap malam, jalan sempit berbatu, terjal dan tikungan tajam seolah memaksa kami harus "menikmati" wisata ekstrim di sekitar 5 KM akhir perjalanan mengejar sunrise. Baiknya pengelola, kami selalu diingatkan untuk menggunakan transmisi satu melalui papan penanda yang menyambut di setiap menjelang tanjakan curam. Tak lain agar kami tetap hati-hati dan bisa tiba dengan selamat di lokasi.
Masih pagi, pukul 4:30. Pantulan sinar matahari mulai menyapa di ujung cakrawala. Laju mobil harus kami hentikan. Portal pos retribusi masih tutup, petugas pintu masuk masih menikmati tidurnya, sementara kami sudah tidak sabar akan pesona yang akan dipamerkan semesta di atas sana (baca: Embung Sriten).
Tak lama menunggu, akhirnya dua pemuda menghampiri pos retribusi. Mereka sigap, lekas membuka portal. Sepertinya mereka paham tujuan utama kami “mengganggu” nyenyaknya tidur mereka pagi itu. Tak rela jika kami kelewatan momen yang kami harapkan.
Total yang kami bayar Rp 20.000, jika dirinci masing-masing orang membayar Rp. 5.000 dan biaya parkir untuk 1 mobil dengan tarif yang sama.
Embung Batara Sriten, Gunung Kidul. |
Kami kembali melanjutkan perjalanan yang kurang lebih masih 1 kilometer. Setibanya kami di lokasi, teriakan “WOW!” spontan keluar dengan polosnya dari mulut saya. Hal yang tidak bisa saya bendung saat pesona semesta itu benar nyata adanya.
Ingin rasanya lebih dekat untuk menyambut dan mengucapkan “Selamat pagi mentari”. Kami pun mendekatinya di puncak Magir, bukit di sebelah embung. Dari sini kami bisa menikmati keharmonisan dengan semesta saat jauh dari polusi udara, kebisingan dan langkanya mendengar "irama" alam yang dinyanyikan burung-burung di pagi ini.
Sunrise, pesona cakrawala |
Merapi Merbabu dari puncak Magir. |
Gazebo di sekitar embung, dilengkapi tempat pembuangan sampah, masih bersih dari aktualisasi diri sesat (vandalisme), entah besok jika kembali ke sana. |
***
Embung Batara Sriten, tempat yang indah untuk memerdekakan jiwa. |
Sebuah keberuntungan, kami bisa menikmati indahnya Embung Batara Sriten, sunrise, pesona cakrawala dan indahnya Merapi Merbabu saat berada di “atas” awan.
Terima kasih semesta.
Pagi dini hari di 20 Mei 2015, pukul 2:06 sebuah notifikasi pesan WhatsApp sontak mengalihkan perhatian saya dari layar monitor laptop yang...